Sabtu, 25 Februari 2017

Citra Pondok Pesantren


Pesantren sampai sekarang ini masih menjadi salah satu lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, minimal mampu menjadikan pribadi yang islami, luas pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar dedikasi sosialnya. Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu muncul sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan dedikasi sosialnya sedikit jumlahnya.
Modernisasi pesantren mempengaruhi visi seorang santri dalam melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang berkeinginan menjadi seorang birokrat, kaum professional, intelektual, dan wirausahawan. Dan ragam profesi yang mereka sandang ini menunjukkan elastisitas dan fleksibelitas pesantren dalam membentuk generasi masa depan bangsa.

Namun dalam sisi lain fenomena kelangkaan ulama menjadi masalah serius yang mesti mendapat perhatian solusif. Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu. Sehingga pesantren sekarang semakin sulit melahirkan ulama besar. Menurutnya, figur santri yang mendalam pemahaman aqidah dan syariah masih menjadi figur ideal ditengah goncangan pemikiran keislaman yang massif sekarang ini.

Sementara tanggung jawab pesantren itu sendiri bagi masyarakat cukup berat. Menurut Said Aqil Siraj, tanggung jawab pesantren sangat berat, meliputi banyak aspek, diantaranya :
1.      Masuliyah diniyah (tanggung jawab keagamaan) yang diimplementasikan dalam peranan pesantren memperjuangkan dakwah Islamiyah;
2.      Masuliyah al-tarbawiyah (educational capability) yang lebih menitikberatkan kepada peningkatan kualitas pendidikan umat; masuliyah al-amaliyah (practice capability) yang lebih menekankan pada realisasi syariat (Islamic law) dalam pribadi umat Islam;
3.      Masuliyah tsaqafiyah (culture capability) yang lebih menekankan pada pembangunan peradaban Islam; dan
4.      Masuliyah al-Qudwah (moral capability) yang mengarahkan umatnya untuk menghiasi diri dengan akhlak al-karimah (perilaku yang mulia).

Keberhasilan pesantren dalam merealisasikan tanggung besar tersebut menurut KH. Ishomuddin Hadziq (cucu Hadlratusy Syekh KH. Moh. Hasyim Asyari) sangat ditentukan oleh :
1.      Factor syaikhun fattah (kiai yang mampu membuka mata hati santrinya) dan
2.      Mudawamah wa ilhah (konsistensi dan kesungguhan santri dalam belajar).

Dua faktor inilah yang membuat pondok pesantren zaman dulu mampu melahirkan santri berkaliber nasional, bahkan internasional. Pendek kata, kedalaman ilmu, ketinggian spiritual, keagungan moral, kesucian dan keikhlasan perilaku, dan kepedulian besar pada pengembangan potensi umat menjadi kunci sukses seorang kiai dalam membina dan mendidik santri-santrinya.

Tidak mungkin, atau hampir mustahil seorang kiai mampu mendidik santrinya dengan sukses, kalau ilmu agamanya diragukan, moralitasnya rendah, spiritualitasnya tidak mantap, dan kepeduliannya pada umat sangat kecil. Kiai seperti ini tidak bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi santri dan masyarakat dalam pengembangan ilmu, pembinaan moral, dan peningkatan potensi umat.

Figur kiai yang berkualitas sangat diharapkan mampu mencetak santri berkualitas yang mampu mengubah sejarah jahiliyah modern menuju era yang penuh dengan cahaya suci ketuhanan ditengah gemerlapnya dunia modern yang hedonis dan matrealis.

Tanggung jawab tersebut merupakan satu sikap yang harus dimiliki oleh pengembang agama (kiyai/ santri) guna menjadi bekal dalam merespon tantangan dunia modern yang kian beragam dan dari hari ke hari kian bervariasi. Disinilah tantangan besar pesantren, bagaimana memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di satu sisi dan mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga tafaqquh fiddin disisi yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar