Pesantren sampai sekarang ini masih menjadi salah satu lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, minimal mampu menjadikan pribadi yang islami, luas pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar dedikasi sosialnya. Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu muncul sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan dedikasi sosialnya sedikit jumlahnya.
Namun dalam sisi lain fenomena kelangkaan ulama
menjadi masalah serius yang mesti mendapat perhatian solusif. Menurut KH. MA.
Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu sekarang
jauh dibanding santri zaman dulu. Sehingga pesantren sekarang semakin sulit
melahirkan ulama besar. Menurutnya, figur santri yang mendalam pemahaman aqidah
dan syariah masih menjadi figur ideal ditengah goncangan pemikiran keislaman
yang massif sekarang ini.
Sementara tanggung jawab pesantren itu sendiri
bagi masyarakat cukup berat. Menurut Said Aqil Siraj, tanggung jawab pesantren
sangat berat, meliputi banyak aspek, diantaranya :
1.
Masuliyah
diniyah (tanggung
jawab keagamaan) yang diimplementasikan dalam peranan pesantren memperjuangkan
dakwah Islamiyah;
2.
Masuliyah
al-tarbawiyah (educational
capability) yang lebih menitikberatkan kepada peningkatan kualitas
pendidikan umat; masuliyah al-amaliyah (practice capability) yang
lebih menekankan pada realisasi syariat (Islamic law) dalam pribadi umat
Islam;
3.
Masuliyah
tsaqafiyah (culture
capability) yang lebih menekankan pada pembangunan peradaban Islam; dan
4.
Masuliyah
al-Qudwah (moral
capability) yang mengarahkan umatnya untuk menghiasi diri dengan akhlak
al-karimah (perilaku yang mulia).
Keberhasilan pesantren dalam merealisasikan
tanggung besar tersebut menurut KH. Ishomuddin Hadziq (cucu Hadlratusy Syekh
KH. Moh. Hasyim Asyari) sangat ditentukan oleh :
1.
Factor
syaikhun fattah (kiai
yang mampu membuka mata hati santrinya) dan
2.
Mudawamah
wa ilhah (konsistensi
dan kesungguhan santri dalam belajar).
Dua faktor inilah yang membuat pondok pesantren
zaman dulu mampu melahirkan santri berkaliber nasional, bahkan internasional.
Pendek kata, kedalaman ilmu, ketinggian spiritual, keagungan moral, kesucian
dan keikhlasan perilaku, dan kepedulian besar pada pengembangan potensi umat
menjadi kunci sukses seorang kiai dalam membina dan mendidik santri-santrinya.
Tidak mungkin, atau hampir mustahil seorang
kiai mampu mendidik santrinya dengan sukses, kalau ilmu agamanya diragukan,
moralitasnya rendah, spiritualitasnya tidak mantap, dan kepeduliannya pada umat
sangat kecil. Kiai seperti ini tidak bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi
bagi santri dan masyarakat dalam pengembangan ilmu, pembinaan moral, dan
peningkatan potensi umat.
Figur kiai yang berkualitas sangat diharapkan
mampu mencetak santri berkualitas yang mampu mengubah sejarah jahiliyah modern
menuju era yang penuh dengan cahaya suci ketuhanan ditengah gemerlapnya dunia
modern yang hedonis dan matrealis.
Tanggung jawab tersebut
merupakan satu sikap yang harus dimiliki oleh pengembang agama (kiyai/ santri)
guna menjadi bekal dalam merespon tantangan dunia modern yang kian beragam dan
dari hari ke hari kian bervariasi. Disinilah tantangan besar pesantren,
bagaimana memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di satu sisi
dan mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga tafaqquh
fiddin disisi yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar